Senin, 13 Oktober 2014

DEGRADASI HUTAN MANGROVE, AKIBATKAN EKOSISTEM TERPURUK



MAKALAH
DEGRADASI HUTAN MANGROVE, AKIBATKAN EKOSISTEM TERPURUK
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata kuliah: Ilmu Lingkungan
Dosen pengampu : Ina Rosdiana L., S. Si., M. Pd


Logo IAIN CIREBON
 





Disusun oleh: Kelompok 2

Cholis                                         14111620065
Helmi Apriliyatmi Hapwiyah     14111610109
Listianto                                     14121610679
Mita Yulia Rahmawati               14111610032
Winda Silvina Aeni                    14111610113
Yanti                                          14111620104 
Kelas/Semester : Biologi B/5
Fakultas: Tarbiyah IPA-Biologi

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013
 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sumber daya alam merupakan sesuatu yang terdapat di muka bumi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan segala sesuatu yang terdapat di hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya hutan sangat bersifat dinamis, artinya berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat satu ke tempat yang lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui. Sehingga sumber daya hutan harus dilestarikan mulai dari sekarang, karena jika sumber daya hutan tidak dilestarikan. Kelestarian alam akan terganggu.
Salah satu hutan yang amat penting keberadaannya baik bagi manusia maupun lingkungan adalah hutan bakau (mangrove). Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
 Menurut Anita Zainatun menyebutkan bahwa Indonesia memiliki pulau-pulau dan garis pantai yang panjang, hal ini menunjukkan bahwa apabila hutan mangrove dikelola dengan baik maka dapat memberikan manfaat yang sangat besar secara lestari. Keberadaannya merupakan sumberdaya yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu. Fungsi hutan Mangrove ini adalah sebagai pencegah abrasi air laut jika terjadi air laut pasang dan sebagai tempat perkembangbiakan beberapa jenis ekosistem. Selain itu, sebagai perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
Banyak Akibat atau dampak negatif dari kerusakan hutan, khususnya hutan mangrove. Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya. Sehingga jika tidak adanya benteng pertahanan tersebut, maka dapat mengakibatkan pengikisan tanah oleh air laut. Selain itu, ekosistem di daerah tersebut juga terganggu dan akan mengakibatkan merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, serta menurunnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, kerusakan hutan harus segera ditangani secara serius.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Apa itu ekosistem hutan mangrove?
2.         Apa fungsi dan manfaat dari hutan mangrove?
3.         Apa faktor penyebab dari kerusakan hutan mangrove?
4.         Bagaimana dampak dari kerusakan hutan mangrove?
5.         Bagaimana dampak dari kerusakan hutan mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat?
6.         Bagaimana solusi dan penanggulangan dari kerusakan hutan mangrove?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Mengetahui tentang ekosistem mangrove.
2.         Mengetahui fungsi dan manfaat dari hutan mangrove.
3.         Mengetahui faktor penyebab dari kerusakan hutan mangrove.
4.         Mengetahui dampak dari kerusakan hutan mangrove.
5.         Mengetahui dampak dari kerusakan hutan mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat.
6.         Mengetahui solusi dan penanggulangan dari kerusakan hutan mangrove.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ekosistem Hutan Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
 Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis komunitas pantai tropik dari suku yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan dalam hal adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove juga dikenal sebagai sumberdaya alam yang sangat potensial, biasanya tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropik, khususnya pada daerah pesisir yang relatif terlindung.
Jika sebelumnya sudah dijelaskan mengenai definisi hutan mangrove, maka definisi ekosistem Mangrove adalah sebuah lingkungan dengan ciri khusus dimana lantai hutannya digenangi oleh air, salinitas juga fluktuasi permukaan airnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove ini sebenarnya masuk ke dalam lingkup ekosistem pantai sebab ia terletak di kawasan perbatasan laut dan juga darat. Ia terletak di wilayah pantai dan juga muara sungai. Hutan mangrove, sebagai sebuah hutan yang tumbuh di wilayah pasang dan surut akan tergenang air di masa pasang dan akan bebas dari genangan air pada saat air surut. Komunitas yang ada di dalam hutan mangrove ini sangat adaptif terhadap kadar garam air laut. Sebagai sebuah ekosistem, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling berinteraksi satu sama lainnya.
Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Dikatakan kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Lalu dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Namun juga labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Anita Zainatun, 2002).
Hutan mangrove dibedakan menjadi hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, cirinya tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di daerah pantai yang berlumpur dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistem hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,50 dan 300 disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Komunitas mangrove bersifat unik, hal ini disebabkan oleh luas vertikal pohon, dimana organisme daratan menempati bagian atas sedangkan hewan lautan yang sebenarnya menempati bagian bawah. Hutan-hutan bakau, membentuk percampuran yang aneh antara organisme lautan dan daratan serta menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhO5Mt1w7M4dCay9iqCjaTCdildn0somoPZ3vSLWz8SAYOuuL3ezVQ5xviN7IdQJuDtgFB2QSwo2szOrur9sd_VTOiQZALGfvu2wl0sIuoODC6G-5flUoUeI2x-yiLCtv-jNfiqMqhRN80/s400/IMG_0465.jpg
Gambar 1.1 Hutan Mangrove (Bakau)
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai hutan mangrove, maka ciri-ciri ataupun karakteristik ekosistem hutan mangrove secara terperinci adalah sebagai berikut:
1.         Umumnya memiliki wilayah tanah yang tergenang secara periodik atau berkala. Dan wilayahnya terlindung dari gelombang besar juga arus pasang surut laut yang kuat.
2.         Mendapat aliran air tawar yang cukup dari daratan. Selain itu, air di wilayah tersebut memiliki kadar garam payau.
3.         Memiliki jenis pepohonan yang relatif terbatas.
4.         Akar pepohonan terbilang unik sebab berbentuk layaknya jangkar yang melengkung juga menjulang di bakau, misalnya Rhizophora Spp.
5.         Terdapat beberapa pohon yang akarnya mencuat secara vertikal layaknya pensil di Pidada atau Sonneratia dan juga api-api atau Avicennia Spp.
6.         Terdapat biji (propagul) dengan sifat vivipar atau mampu melakukan proses perkecambahan pada kulit pohon.
Berbicara mengenai flora atau tumbuhan yang ada di ekosistem hutan mangrove antara lain liana, alga, bakteri juga fungi. Beberapa ahli menemukan terdapat kurang lebih 89 spesies. Flora tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok, antara lain:
v  Flora hutan mangrove mayor atau tanaman mangrove sesungguhnya, adalah tanaman yang memperlihatkan kesetiaan pada habitat ekosistem mangrove. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan yang murni serta secara dominan mencirikan susunan komunitas. Dari segi morfologis, ia mempunyai bentuk yang adaptif akan lingkungan hutan mangrove dan mampu mengontrol kadar garam. Contoh flora yang masuk ke kelompok ini adalah adalah Kandelia, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Laguncularia, Sonneratia dan Nypa.
v  Flora mangrove minor, adalah tanaman mangrove yang tidak memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah tegakan yang murni, dengan demikian secara morfologis tanaman ini tidak memiliki peranan yang dominan dalam komunitas mangrove. Contoh tanaman ini antara lain Excoecaria, Aegiceras. Aegialitis, Xylocarpus, Camptostemon, Heritiera, Pemphis, Scyphiphora, Osbornia, Acrostichum dan juga Pelliciera.
v  Asosiasi hutan Mangrove, contoh tanaman yang satu ini adalah Calamus, Hibiscus, Cerbera dan masih banyak lagi lainnya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan payau masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah daratsebagai berikut.
1.         Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp.  dan Sonneratia spp.
2.         Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp.  dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp, Ceriops spp,   dan Xylocarpus spp.
3.         Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp.  dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp, Kandelia spp, dan Aegiceras spp.
Fauna yang terdapat di ekosistem hutan mangrove adalah fauna yang khususnya mendiami wilayah tersebut karena alasan demi kelangsungan hidup mereka. Misalnya berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut. Juga terdapat satwa terbang, seperti burung-burung air, kelelawar dan berbagai primata seperti bekantan yang bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung maupun monyet. Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya, biawak dan banyak jenis insekta.

B.       Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Fungsi ekosistem mangrove  mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari bahaya erosi laut dan abrasi, menahan badai/angin kencang dari laut, intrusi air laut, menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, mempercepat perluasan lahan, menjadi wilayah penyagga serta berfungsi menjadi air laut menjadi air tawar dan mengolah bahan limbah beracun penghasil O2 dan penyerap CO2).
Sedangkan untuk fungsi secara biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga sangat penting bagi keberlanjutan rantai makanan, dan sebagai penghasik karbin (C) yang disimpan dalam tanah). Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan biota laut tersebut, dapat diketahui dari banyaknya jenis ikan, udang, kepiting bahkan manusia sekalipun yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan hidupnya bergantung dari keberadaannya. Selain itu sebagai fungsi ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll). Menurut penelitian, bahwa 80% dari  ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi  kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angin laut, penahan sedimen yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Kusmana dalam jurnal Pramudji (2000) juga berpendapat sama mengenai fungsi kawasan hutan mangrove. Yakni menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) menjadi habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
Hutan mangrove juga dikenal sebagai hutan yang memiliki daya adaptasi morfologi yang tinggi terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya dan mampu menahan sedimen yang terbawa oleh sungai akibat banjir, serta memperlihatkan adanya zonasi atau permintakatan yang sangat jelas, bila dibandingkan dengan hutan lainnya. Permintakatan pada hutan mangrove disebabkan oleh adanya beberapa faktor, antara lain frekuensi genangan, salinitas, dominasi tumbuhan, gerakan air pasang surut dan keterbukaan lokasi mangrove terhadap angin dan ombak serta jarak dari laut.
Peranan mangrove yang cukup penting, khususnya bagi ekologi perairan di sekitarnya adalah didasarkan kepada produksi bahan organik yang berupa serasah dan seterusnya dapat mendukung kelestarian berbagai macam kehidupan hewan aquatik. Ditinjau dari aspek energi, ekosistem mangrove merupakan tempat yang memiliki perputaran bahan-bahan yang sangat dibutuhkan oleh organisme, yang pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk lebih mempermudah mengetahui tentang peranan hutan mangrove, pada gambar 1.2, diperlihatkan gambaran secara skematis tentang peranan hutan mangrove dilihat dari aspek perikanan.
Perputaran bahan-bahan dalam ekosistem mangrove, digerakkan oleh faktor fisik dan biologi yang mengendalikan besarnya impor dan ekspor senyawa-senyawa organik dan anorganik. Faktor fisik adalah meliputi pasang-surut, aliran arus permukaan serta adanya curah hujan. Sedangkan proses biologi yang sangat penting dalam perputaran bahan adalah gugur serasah, dekomposisi, mikroorganisme serta aktifitas beberapa biota laut yang hidup di sekitar perairan mangrove.
Gambar 1.2 Peranan hutan mangrove dilihat dari aspek perikanan
Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa Serasah yang merupakan hasil tumbuhan mangrove merupakan sumber utama karbon dan nitrogen yang sangat diperlukan oleh ekosistem mangrove itu sendiri, maupun ekosistem perairan di sekitar hutan mangrove. Selanjutnya serasah mengalami pembusukan oleh detritus jika memang sudah mati dan pada akhirnya menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan yang berada di ekosistem tersebut. Selain itu, akar dan batang tumbuhan mangrove juga tak kalah pentingnya bagi keberadaan flora maupun fauna yang menjadikan mangrove sebagai habitatnya.

C.      Faktor- Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Pulau Jawa hutan mangrove dijadikan sasaran manusia untuk dijadikan berbagai macam aktivitas, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan kepentingan dan kelestarian daerah perairan pesisir, pengrusakan atau pengurangan areal hutan mangrove mempunyai dampak terhadap beberapa komponen yang pada akhimya semua biota yang hidup di perairan sekitar hutan mangrove tersebut akan punah.
Seiring berjalan waktu yang terus menerus menyebabkan jumlah manusia yang ada dibumi menjadi bertambah, pertambahan jumlah manusia tersebut tentunya membutuhkan terpenuhinya kebutuhan baik sandang, pangan dan papan, sehingga perlunya alih fungsi hutan mangrove. Alih fungsi hutan mangrove yang tidak memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove. Faktor-faktor yang mengakibatkan rusaknya hutan mangrove akibat dari alih fungsi hutan mangrove adalah:
1.    Faktor Alam
Faktor alam merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove, tetapi hal ini bersifat sekunder. Bersifat sekunder artinya faktor penyebabnya jarang terjadi atau sewaktu-waktu dan wilayah kerusakannya relatif sempit, yaitu:
a.    Angin topan, dapat merusak dengan mencabut pohon-pohon bakau sampai keakarnya atau oleh pengendapan yang masif atau mengubah salinitas air dan tanah.
b.    Gelombang tsunami, dapat merusak sehingga pohon-pohon bakau dapat tercabut dari akarnya.
c.    Organisme isopoda kecil, yaitu Sphaeroma terebrans. Isopoda ini merusak akar penunjang bakau dengan cara melubanginya, sehingga pohon-pohon bakau menjadi tumbang.
2.    Faktor Manusia
Salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove yang bersifat primer. Bersifat primer artinya faktor penyebabnya terjadi setiap saat dan wilayah kerusakannya luas.
a.    Konversi alih fungsi hutan mangrove, konversi ini didasarkan pada kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan fungsi ekologi. Konversi hutan mangrove itu sendiri, hanya akan merusak fungsi hutan mangrove baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
b.    Ekploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove yang dilakukan untuk keperluan kayu, kayu bakar, kertas, kayu lapis, tatal, bubur kayu, arang maupun yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, pertambakan, penambangan dan pemukiman pada akhirnya mempunyai dampak negatif terhadap sumber daya alam tersebut.
c.    Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang belum terarah. Dalam era reformasi ini, pemerintah daerah melalui otonomi daerah, belum secara serius mengelola dan memanfaatkan wilayah pantai terutama hutan mangrove.
d.   Penegakkan hukum yang lemah. Hal ini disebabkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hayati hutan bakau tanpa memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi, tidak ditindak tegas secara hukum, sehingga mereka bebas mengeksploitasi hutan bakau tanpa terkontrol.
e.    Rusaknya vegetasi mangrove di beberapa daerah disebabkan oleh pemanfaatan kayu mangrove secara intensif untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh penduduk setempat yang dimulai sejak lama. Selain itu, proses tebang pilih yang salah juga dapat menimbulkan kerusakan ekosistem.
f.     Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
g.    Pembuangan limbah produksi ataupun rumah tangga terkadang di buang ke sungai, yang pada akhirnya bermuara di perairan hutan bakau.

D.      Dampak Kerusakan Hutan Mangrove di Beberapa Daerah
 Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto dalam Onrizal, 2002). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia (FAO, 1982). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Kusmana (1995) melaporkan bahwa pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menurut media Kompas (2000) menyatakan bahwa luas hutan mangrove  di Sumatera Barat 36.550 ha, tersebar di kabupaten Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%, Kabupaten Pesisir Selatan 325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Kepulauan Mentawai 32.600 ha dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55 ha dengan tingkat kerusakan 50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Padang Pariaman 200 ha dengan tingkat kerusakan 80%. Tingkat kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 53,34%. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya 8.320 ton/tahun. Data lain menyebutkan bahwa luas hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 39.832 ha.
Pengrusakan hutan bakau di beberapa daerah dapat mengakibatkan berbagai macam bencana ekologi. Sampah-sampah di perairan Teluk Balikpapan misalnya mengakibatkan pendangkalan teluk yang mengganggu perahu-perahu yang melintas di sana. Pembukaan lahan kawasan bakau oleh pemerintah menimbulkan erosi, sedimentasi, intrusi air laut dan gelombang besar di Teluk Balikpapan serta sungai-sungai di sekitarnya. Gas karbon dan emisi gas rumah kaca di Balikpapan langsung dilepaskan ke atmosfer akibat berkurangnya pengikatan gas tersebut oleh hutan bakau. Produksi ikan di perairan Teluk Balikpapan menjadi berkurang drastis karena kerusakan hutan bakau dan terumbu karang yang merupakan tempat berkembangnya "bayi" biota laut sehingga berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan setempat.
Kekawatiran terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai Pulau Jawa, termasuk di pesisir pantai Jawa Barat dan Banten. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir, dimana hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.
Kegiatan masyarakat pantai mengenai eksploitasi hutan yang berlebihan, pada akhirnya akan memanfaatkan hutan mangrove secara tidak ramah lingkungan, dampaknya hutan mangrove akan terdegradasi dan rusak, bahkan sumber daya alam tersebut akan punah. Menurut beberapa sumber kerusakan ekosistem yang sudah mulai terancam berada di daerah pantai utara Pulau Jawa, Cilacap, Madura, Indragiri hilir (Riau), Luwu (Sulawesi Selatan), pantai barat Pulau Lombok, Paso dan Tawiri (Ambon), Sidangoli (Halmahera).
Sedangkan dampak dari tebang habis (clearcutting) terhadap hutan mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif di sepanjang pantai, dan reboisasi alami umumnya tidak berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan penurunan nilai hutan. Kondisi seperti ini dapat dilihat di sepanjang pesisir Indramayu (Jawa Barat), pesisir Pulau Lombok barat, pantai Tawiri (Ambon), pantai Waisiley (Halmahera) dan pantai Madura.
Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organik, minyak bumi dan lain-lain. Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Peningkatan abrasi pantai. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah dan bertelurnya biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut dan lain-lain.  Peningkatan pencemaran pantai. Selain itu, terdapat dampak lain yang dapat imbasnya pada alam.
1.    Erosi Pantai
Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai. Selain proses-proses alami, seperti angina, arus, hujan dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai. Kebanyakan erosi pantai akibat aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir untuk kepentingan pemukiman, dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan pantai.
Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman pantai makin mudah diserang topan dan air pasang.
2.    Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kearah daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin. Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan  dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
3.    Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan pembukaan lahan atas dan pesisir untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Adanya penebangan hutan dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Selain limbah pertanian, sampah-sampah rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir dan laut yang sulit dikontrol.
Kegiatan pembuangan limbah pertanian, agro-industri dan limbah rumah tangga baik itu yang langsung ke hutan mangrove maupun lewat sungai, juga akan menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi hutan mangrove. Berbagai limbah yang dibuang ke areal hutan mangrove tersebut, akan menurunkan kualitas lingkungan perairan, sehingga pada akhimya kehidupan biota akuatik akan terganggu. Limbah dan industri yang menggunakan senyawa-senyawa organik dan anorganik yang dibuang di sekitar perairan hutan mangrove, juga menyebabkan tumbuhan mangrove akan menggugurkan daunnya dan kemudian mati.

E.       Dampak Kerusakan Hutan Mangrove bagi Kehidupan Sosial Masyarakat
Hutan mangrove menjadi habitat yang menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah galian. Kepunahan spesies yang disebabkan oleh perubahan bentuk (degradasi) hutan mangrove telah menyebabkan berbagai perubahan juga pada ekosistem hutan mangrove maupun masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya.  Saat ini, ekosistem hutan mangrove mengalami ancaman berupa penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan atau penggundulan hutan mangrove ini dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.
Umumnya kerusakan atau kepunahan ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh  penyebab-penyebab berikut:
1.         Laju peningkatan populasi manusia dan konsumsi SDA (Sumber Daya Alam) yang tidak berkelanjutan;
2.         Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan;
3.         Sistem dan kebijaksanaan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada lingkungan dan sumberdayanya;
4.         Ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati;
5.         Kurangnya pengetahuan dan penerapan;
6.         Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
Masyarakat yang hidup di daerah pesisir dekat hutan mangrove secara langsung maupun tak langsung telah melibatkan diri terhadap keadaan ekosistem mangrove. Keseharian mereka tidak dapat dilepaskan dari ekoistem hutan mangrove. Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut.
Hutan mangrove yang potensial dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi, sosial dan kemasyarakatan. Namun, fungsi tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).

F.       Solusi dan Penanggulangan Dari Kerusakan Hutan Mangrove
Peraturan tentang konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan  pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
1.         Penanaman kembali mangrove, penanaman pohon mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat terlibat dalam semua kegiatan reboisasi mulai dari pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2.         Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir. Pengaturan tata ruang wilayah pesisir yang dimaksud meliputi pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3.         Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4.         Pemberian surat izin usaha dan surat izin mendirikan bangunan harus memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove
5.         Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove
6.         Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, yang tidak tergantung dari hutan mangrove
7.         Program komunikasi yang berkesinambungan antara masyarakat sekitar dengan instansi terkait tentang fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove
8.         Penegakan hukum yang tegas kepada siapa saja yang memanfaatkan hutan mangrove tanpa  terkendali sehingga merusak hutan mangrove, yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekologi hutan mangrove.
9.         Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini.


























BAB III
KESIMPULAN

A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai hutan mangrove, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.         Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis komunitas pantai tropik dari suku yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan dalam hal adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Sedangkan Komunitas mangrove bersifat unik, hal ini disebabkan oleh luas vertikal pohon, dimana organisme daratan menempati bagian atas sedangkan hewan lautan yang sebenarnya menempati bagian bawah.
2.         Fungsi dan manfaat hutan mangrove meliputi fungsi fisik, biologis, ekologis dan fungsi sosial-ekonomi. Selain itu hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) menjadi habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
3.         Faktor-faktor penyebab dari kerusakan hutan mangrove disebabkan karena faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang mungkin terjadi diakibatkan oleh angin topan, gelombang tsunami, dan organisme isopoda kecil. Sedangkan faktor manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan bakau adalah konversi hutan bakau menjadi berbagai fungsi, eksploitasi yang berlebihan, penegakkan hukum yang lemah dan pembuangan limbah industri maupun limbah rumah tangga yang dibuang di aliran sungai lalu bermuara pada perairan hutan bakau.
4.         Dampak kerusakan hutan mangrove di beberapa daerah adalah menyebabkan erosi pantai atau abrasi yang parah menyebabkan degradasi hutan bakau menuruh drastis. Intrusi air laut perairan di Bengkulu menjadi tercemar, dan penebangan hutan serta penambangan di daerah aliran sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir.
5.         Dampak kerusakan hutan mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat, menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat.
6.         Cara penanggulangan kerusakan hutan mangrove adalah dengan Penanaman kembali mangrove, Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir, Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab dan Penegakan hukum yang tegas kepada siapa saja yang memanfaatkan hutan mangrove.














DAFTAR PUSTAKA

Lala_syabilla. 2012. Akibat Kerusakan Hutan.  http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/04/akibat-kerusakan-hutan.html. Diakses tanggal 16 Oktober 2013. Pukul 23.45 WIB.
Muryani, Chatarina. 2010. Jurnal Analisis Perubahan Garis Pantai Menggunakan Sig Serta Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat Di Sekitar Muara Sungai Rejoso Kabupaten Pasuruan. http://mangrove.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2013. Pukul 20.00 wib.

Onrizal. 2002. Jurnal Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove Dan Alternatif Rehabilitasinya Di Jawa Barat Dan Banten. http:hutan_onrizal.pdf. Diakses tanggal 14 Oktober 2013. Pukul 13.45 WIB.
Pramudji. 2000. Jurnal Dampak Perilaku Manusia Pada Ekosistem Hutan Mangrove Di Indonesia. http://www.oseanografi.lipi.go.id. Diakses tanggal 15 Oktober 2013. Pukul 16.00 wib.

Zainatun, Anita. 2002. Jurnal Kajian Keberadaan Hutan Mangrove: Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. http: hutan_anita.pdf. Diakses tanggal 14 Oktober 2013. Pukul 13.00 wib.