MAKALAH
DEGRADASI
HUTAN MANGROVE, AKIBATKAN
EKOSISTEM TERPURUK
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata kuliah: Ilmu Lingkungan
Dosen pengampu : Ina Rosdiana L., S. Si., M. Pd
Disusun
oleh: Kelompok 2
Cholis 14111620065
Helmi Apriliyatmi Hapwiyah 14111610109
Listianto 14121610679
Mita
Yulia Rahmawati 14111610032
Winda
Silvina Aeni 14111610113
Yanti 14111620104
Kelas/Semester : Biologi B/5
Fakultas: Tarbiyah IPA-Biologi
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sumber daya alam merupakan sesuatu yang terdapat di muka bumi yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan segala sesuatu
yang terdapat di hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Sumber daya hutan sangat bersifat dinamis, artinya berubah dari waktu
ke waktu, dan dari tempat satu ke tempat yang lain. Seiring dengan perkembangan
kebutuhan manusia. Sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui. Sehingga
sumber daya hutan harus dilestarikan mulai dari sekarang, karena jika sumber
daya hutan tidak dilestarikan. Kelestarian alam akan terganggu.
Salah satu hutan yang amat penting
keberadaannya baik bagi manusia maupun lingkungan adalah hutan bakau
(mangrove). Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
60/kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud
dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Menurut Anita Zainatun menyebutkan bahwa
Indonesia memiliki pulau-pulau dan garis pantai yang panjang, hal ini
menunjukkan bahwa apabila hutan mangrove dikelola dengan baik maka dapat
memberikan manfaat yang sangat besar secara lestari. Keberadaannya merupakan
sumberdaya yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman
hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu.
Fungsi hutan Mangrove ini adalah sebagai pencegah abrasi air laut jika terjadi
air laut pasang dan sebagai tempat perkembangbiakan beberapa jenis ekosistem.
Selain itu, sebagai perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
Banyak Akibat atau dampak negatif
dari kerusakan hutan, khususnya hutan mangrove. Secara fisik, hutan mangrove
mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan
angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai
benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada
keseluruhannya. Sehingga jika tidak adanya benteng pertahanan tersebut, maka dapat
mengakibatkan pengikisan tanah oleh air laut. Selain itu, ekosistem di daerah
tersebut juga terganggu dan akan mengakibatkan merosotnya nilai ekonomi hutan
dan produktivitas tanah, serta menurunnya keanekaragaman hayati. Oleh karena
itu, kerusakan hutan harus segera ditangani secara serius.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
Latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa itu ekosistem hutan mangrove?
2.
Apa fungsi dan manfaat dari hutan
mangrove?
3.
Apa faktor penyebab dari kerusakan hutan
mangrove?
4.
Bagaimana dampak dari kerusakan hutan
mangrove?
5.
Bagaimana dampak dari kerusakan hutan
mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat?
6.
Bagaimana solusi dan penanggulangan dari
kerusakan hutan mangrove?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui tentang ekosistem mangrove.
2.
Mengetahui fungsi dan manfaat dari hutan
mangrove.
3.
Mengetahui faktor penyebab dari
kerusakan hutan mangrove.
4.
Mengetahui dampak dari kerusakan hutan
mangrove.
5.
Mengetahui dampak dari kerusakan hutan
mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat.
6.
Mengetahui solusi dan penanggulangan
dari kerusakan hutan mangrove.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ekosistem
Hutan Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa
Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al,
2003). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk
individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Hutan
mangrove didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas
berbagai macam jenis komunitas pantai tropik dari suku yang berbeda, tetapi
mempunyai persamaan dalam hal adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama
terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove juga
dikenal sebagai sumberdaya alam yang sangat potensial, biasanya tumbuh dan
berkembang dengan baik di daerah tropik, khususnya pada daerah pesisir yang
relatif terlindung.
Jika sebelumnya sudah dijelaskan mengenai definisi
hutan mangrove, maka definisi ekosistem Mangrove adalah sebuah lingkungan
dengan ciri khusus dimana lantai hutannya digenangi oleh air, salinitas juga
fluktuasi permukaan airnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Ekosistem mangrove ini sebenarnya masuk ke dalam lingkup ekosistem pantai sebab
ia terletak di kawasan perbatasan laut dan juga darat. Ia terletak di wilayah
pantai dan juga muara sungai. Hutan mangrove, sebagai sebuah hutan yang tumbuh
di wilayah pasang dan surut akan tergenang air di masa pasang dan akan bebas
dari genangan air pada saat air surut. Komunitas yang ada di dalam hutan
mangrove ini sangat adaptif terhadap kadar garam air laut. Sebagai sebuah
ekosistem, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling
berinteraksi satu sama lainnya.
Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona
pasang surut, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks
dan dinamis namun labil. Dikatakan kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan
perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan.
Lalu dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami
suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Namun juga labil, karena mudah
sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Anita Zainatun, 2002).
Hutan mangrove dibedakan menjadi hutan pantai dan
hutan rawa. Hutan pantai yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, cirinya
tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar.
Ekosistem hutan pantai dapat terdapat disepanjang pantai yang curam di
atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya
berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang
tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan
rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas
untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di daerah pantai yang berlumpur
dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistem hutan itu disebut
ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar
garam/salinitas antara 0,50 dan 300 disebut juga
ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut.
Komunitas mangrove bersifat unik, hal ini disebabkan
oleh luas vertikal pohon, dimana organisme daratan menempati bagian atas
sedangkan hewan lautan yang sebenarnya menempati bagian bawah. Hutan-hutan
bakau, membentuk percampuran yang aneh antara organisme lautan dan daratan serta
menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya.
Gambar 1.1 Hutan Mangrove (Bakau)
Berdasarkan
penjelasan di atas mengenai hutan mangrove, maka ciri-ciri ataupun
karakteristik ekosistem hutan mangrove secara terperinci adalah sebagai berikut:
1.
Umumnya memiliki wilayah tanah yang
tergenang secara periodik atau berkala. Dan wilayahnya terlindung dari
gelombang besar juga arus pasang surut laut yang kuat.
2.
Mendapat aliran air tawar yang cukup
dari daratan. Selain itu, air di wilayah tersebut memiliki kadar garam payau.
3.
Memiliki jenis pepohonan yang relatif
terbatas.
4.
Akar pepohonan terbilang unik sebab
berbentuk layaknya jangkar yang melengkung juga menjulang di bakau, misalnya Rhizophora Spp.
5.
Terdapat beberapa pohon yang akarnya
mencuat secara vertikal layaknya pensil di Pidada atau Sonneratia dan juga api-api atau Avicennia Spp.
6.
Terdapat biji (propagul) dengan sifat
vivipar atau mampu melakukan proses perkecambahan pada kulit pohon.
Berbicara mengenai flora atau tumbuhan yang ada di ekosistem hutan mangrove antara lain liana, alga,
bakteri juga fungi. Beberapa ahli menemukan terdapat kurang lebih 89 spesies.
Flora tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok, antara lain:
v Flora
hutan mangrove mayor atau tanaman mangrove sesungguhnya, adalah tanaman yang
memperlihatkan kesetiaan pada habitat ekosistem mangrove. Ia memiliki kemampuan
untuk membentuk tegakan yang murni serta secara dominan mencirikan susunan
komunitas. Dari segi morfologis, ia mempunyai bentuk yang adaptif akan
lingkungan hutan mangrove dan mampu mengontrol kadar garam. Contoh flora yang
masuk ke kelompok ini adalah adalah Kandelia,
Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Laguncularia, Sonneratia
dan Nypa.
v Flora
mangrove minor, adalah tanaman mangrove yang tidak memiliki kemampuan untuk
membentuk sebuah tegakan yang murni, dengan demikian secara morfologis tanaman
ini tidak memiliki peranan yang dominan dalam komunitas mangrove. Contoh
tanaman ini antara lain Excoecaria,
Aegiceras. Aegialitis, Xylocarpus, Camptostemon, Heritiera, Pemphis,
Scyphiphora, Osbornia, Acrostichum dan juga Pelliciera.
v Asosiasi
hutan Mangrove, contoh tanaman yang satu ini adalah Calamus, Hibiscus, Cerbera dan masih banyak lagi lainnya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat
digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya
terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur
seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi
hutan payau masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan
laut ke arah daratsebagai berikut.
1.
Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies
tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
2.
Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies
tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai
Bruguiera spp, Ceriops spp, dan Xylocarpus
spp.
3.
Jalur tancang yang terbentuk oleh
spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga
dijumpai Xylocarpus spp, Kandelia spp, dan Aegiceras spp.
Fauna yang terdapat di
ekosistem hutan mangrove adalah fauna yang khususnya mendiami wilayah tersebut
karena alasan demi kelangsungan hidup mereka. Misalnya berbagai jenis udang,
ikan dan berbagai biota laut. Juga terdapat satwa terbang, seperti
burung-burung air, kelelawar dan berbagai primata seperti bekantan yang
bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung maupun monyet.
Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya, biawak dan banyak
jenis insekta.
B.
Fungsi
dan Manfaat Hutan Mangrove
Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai
agar tetap stabil, melindungi pantai dari bahaya erosi laut dan abrasi, menahan
badai/angin kencang dari laut, intrusi air laut, menahan hasil proses
penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, mempercepat
perluasan lahan, menjadi wilayah penyagga serta berfungsi menjadi air laut
menjadi air tawar dan mengolah bahan limbah beracun penghasil O2 dan
penyerap CO2).
Sedangkan untuk fungsi secara biologis (tempat pembenihan ikan, udang,
tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami
bagi berbagai jenis biota, menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber
makanan penting bagi plankton, sehingga sangat penting bagi keberlanjutan
rantai makanan, dan sebagai penghasik karbin (C) yang disimpan dalam tanah). Besarnya
peranan hutan mangrove bagi kehidupan biota laut tersebut, dapat diketahui dari
banyaknya jenis ikan, udang, kepiting bahkan manusia sekalipun yang tinggal di
sekitar hutan mangrove dan hidupnya bergantung dari keberadaannya. Selain itu
sebagai fungsi ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan
garam, bahan bangunan dll). Menurut penelitian, bahwa 80% dari ikan
komersial yang tertangkap di perairan lepas pantai ternyata mempunyai hubungan
erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini
membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding
& nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove
juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angin laut, penahan sedimen
yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Kusmana dalam
jurnal Pramudji (2000) juga berpendapat sama mengenai fungsi kawasan hutan
mangrove. Yakni menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1)
penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah
limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota
laut; 4) menjadi habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non
kayu; 6) potensi ekoturisme.
Hutan
mangrove juga dikenal sebagai hutan yang memiliki daya adaptasi morfologi yang
tinggi terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya dan mampu menahan sedimen
yang terbawa oleh sungai akibat banjir, serta memperlihatkan adanya zonasi atau
permintakatan yang sangat jelas, bila dibandingkan dengan hutan lainnya.
Permintakatan pada hutan mangrove disebabkan oleh adanya beberapa faktor,
antara lain frekuensi genangan, salinitas, dominasi tumbuhan, gerakan air
pasang surut dan keterbukaan lokasi mangrove terhadap angin dan ombak serta
jarak dari laut.
Peranan
mangrove yang cukup penting, khususnya bagi ekologi perairan di sekitarnya
adalah didasarkan kepada produksi bahan organik yang berupa serasah dan seterusnya
dapat mendukung kelestarian berbagai macam kehidupan hewan aquatik. Ditinjau
dari aspek energi, ekosistem mangrove merupakan tempat yang memiliki perputaran
bahan-bahan yang sangat dibutuhkan oleh organisme, yang pada gilirannya
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk lebih mempermudah mengetahui tentang
peranan hutan mangrove, pada gambar 1.2, diperlihatkan gambaran secara skematis
tentang peranan hutan mangrove dilihat dari aspek perikanan.
Perputaran
bahan-bahan dalam ekosistem mangrove, digerakkan oleh faktor fisik dan biologi
yang mengendalikan besarnya impor dan ekspor senyawa-senyawa organik dan
anorganik. Faktor fisik adalah meliputi pasang-surut, aliran arus permukaan
serta adanya curah hujan. Sedangkan proses biologi yang sangat penting dalam
perputaran bahan adalah gugur serasah, dekomposisi, mikroorganisme serta
aktifitas beberapa biota laut yang hidup di sekitar perairan mangrove.
Gambar 1.2 Peranan hutan mangrove dilihat dari aspek
perikanan
Berdasarkan
gambar di atas, menunjukkan bahwa Serasah yang merupakan hasil tumbuhan
mangrove merupakan sumber utama karbon dan nitrogen yang sangat diperlukan oleh
ekosistem mangrove itu sendiri, maupun ekosistem perairan di sekitar hutan
mangrove. Selanjutnya serasah mengalami pembusukan oleh detritus jika memang
sudah mati dan pada akhirnya menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan yang berada
di ekosistem tersebut. Selain itu, akar dan batang tumbuhan mangrove juga tak
kalah pentingnya bagi keberadaan flora maupun fauna yang menjadikan mangrove sebagai
habitatnya.
C.
Faktor-
Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Beberapa
tahun terakhir ini, khususnya di Pulau Jawa hutan mangrove dijadikan sasaran
manusia untuk dijadikan berbagai macam aktivitas, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. Berkaitan dengan kepentingan dan kelestarian daerah
perairan pesisir, pengrusakan atau pengurangan areal hutan mangrove mempunyai
dampak terhadap beberapa komponen yang pada akhimya semua biota yang hidup di
perairan sekitar hutan mangrove tersebut akan punah.
Seiring berjalan
waktu yang terus menerus menyebabkan jumlah manusia yang ada dibumi menjadi
bertambah, pertambahan jumlah manusia tersebut tentunya membutuhkan
terpenuhinya kebutuhan baik sandang, pangan dan papan, sehingga perlunya alih
fungsi hutan mangrove. Alih fungsi hutan mangrove yang tidak memperhatikan
fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove. Faktor-faktor yang mengakibatkan
rusaknya hutan mangrove akibat dari alih fungsi hutan mangrove adalah:
1. Faktor Alam
Faktor alam merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kerusakan hutan mangrove, tetapi hal ini bersifat sekunder. Bersifat
sekunder artinya faktor penyebabnya jarang terjadi atau sewaktu-waktu dan
wilayah kerusakannya relatif sempit, yaitu:
a.
Angin topan, dapat merusak dengan mencabut pohon-pohon
bakau sampai keakarnya atau oleh pengendapan yang masif atau mengubah salinitas
air dan tanah.
b.
Gelombang tsunami, dapat merusak sehingga pohon-pohon
bakau dapat tercabut dari akarnya.
c.
Organisme isopoda kecil, yaitu Sphaeroma terebrans. Isopoda ini merusak akar penunjang bakau
dengan cara melubanginya, sehingga pohon-pohon bakau menjadi tumbang.
2. Faktor Manusia
Salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove yang
bersifat primer. Bersifat primer artinya faktor penyebabnya terjadi setiap saat
dan wilayah kerusakannya luas.
a.
Konversi alih fungsi hutan mangrove, konversi ini didasarkan
pada kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan fungsi ekologi. Konversi
hutan mangrove itu sendiri, hanya akan merusak fungsi hutan mangrove baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
b.
Ekploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove
yang dilakukan untuk keperluan kayu, kayu bakar, kertas, kayu lapis, tatal,
bubur kayu, arang maupun yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian,
pertambakan, penambangan dan pemukiman pada akhirnya mempunyai dampak negatif
terhadap sumber daya alam tersebut.
c.
Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang belum
terarah. Dalam era reformasi ini, pemerintah daerah melalui otonomi daerah, belum
secara serius mengelola dan memanfaatkan wilayah pantai terutama hutan
mangrove.
d.
Penegakkan hukum yang lemah. Hal ini disebabkan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hayati hutan bakau tanpa
memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi, tidak ditindak tegas secara hukum,
sehingga mereka bebas mengeksploitasi hutan bakau tanpa terkontrol.
e.
Rusaknya vegetasi mangrove di beberapa daerah
disebabkan oleh pemanfaatan kayu mangrove secara intensif untuk kayu bakar dan
bahan bangunan oleh penduduk setempat yang dimulai sejak lama. Selain itu,
proses tebang pilih yang salah juga dapat menimbulkan kerusakan ekosistem.
f.
Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan
(perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dan lain-lain), tanpa
mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
g.
Pembuangan limbah produksi ataupun rumah tangga
terkadang di buang ke sungai, yang pada akhirnya bermuara di perairan hutan
bakau.
D. Dampak Kerusakan Hutan Mangrove di Beberapa Daerah
Indonesia sebagai
negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil
dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto dalam Onrizal, 2002).
Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter
sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan
mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia (FAO, 1982). Namun
demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif
terus menurun dari tahun ke tahun. Kusmana (1995) melaporkan bahwa pada tahun
1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada
tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan
kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menurut
media Kompas (2000) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Sumatera Barat 36.550 ha, tersebar di
kabupaten Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%, Kabupaten Pesisir Selatan
325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Kepulauan Mentawai 32.600 ha
dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55 ha dengan tingkat kerusakan
50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Padang Pariaman
200 ha dengan tingkat
kerusakan 80%. Tingkat kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat
adalah 53,34%. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya
8.320 ton/tahun. Data lain menyebutkan bahwa luas hutan
mangrove di
Sumatera Barat adalah 39.832 ha.
Pengrusakan
hutan bakau di beberapa daerah dapat mengakibatkan berbagai macam bencana
ekologi. Sampah-sampah di perairan Teluk Balikpapan misalnya mengakibatkan
pendangkalan teluk yang mengganggu perahu-perahu yang melintas di sana.
Pembukaan lahan kawasan bakau oleh pemerintah menimbulkan erosi, sedimentasi,
intrusi air laut dan gelombang besar di Teluk Balikpapan serta sungai-sungai di
sekitarnya. Gas karbon dan emisi gas rumah kaca di
Balikpapan langsung dilepaskan ke atmosfer akibat berkurangnya pengikatan gas
tersebut oleh hutan bakau. Produksi ikan di perairan Teluk Balikpapan menjadi
berkurang drastis karena kerusakan hutan bakau dan terumbu karang yang
merupakan tempat berkembangnya "bayi" biota laut sehingga berdampak
pada kehidupan ekonomi nelayan setempat.
Kekawatiran
terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di
daerah pesisir pantai Pulau Jawa, termasuk di pesisir pantai Jawa Barat dan
Banten. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas
potensi sumberdaya ekosistem pesisir, dimana hutan mangrove itu berada serta
menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove
tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan
mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih
dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.
Kegiatan
masyarakat pantai mengenai eksploitasi hutan yang berlebihan, pada akhirnya
akan memanfaatkan hutan mangrove secara tidak ramah lingkungan, dampaknya hutan
mangrove akan terdegradasi dan rusak, bahkan sumber daya alam tersebut akan
punah. Menurut beberapa sumber kerusakan ekosistem yang sudah mulai terancam
berada di daerah pantai utara Pulau Jawa, Cilacap, Madura, Indragiri hilir
(Riau), Luwu (Sulawesi Selatan), pantai barat Pulau Lombok, Paso dan Tawiri
(Ambon), Sidangoli (Halmahera).
Sedangkan
dampak dari tebang habis (clearcutting) terhadap hutan mangrove akan
menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif di sepanjang pantai, dan reboisasi
alami umumnya tidak berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan penurunan
nilai hutan. Kondisi seperti ini dapat dilihat di sepanjang pesisir Indramayu
(Jawa Barat), pesisir Pulau Lombok barat, pantai Tawiri (Ambon), pantai
Waisiley (Halmahera) dan pantai Madura.
Turunnya
kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organik, minyak bumi dan lain-lain.
Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Peningkatan abrasi pantai.
Turunnya sumber makanan, tempat pemijah dan bertelurnya biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan
tiupan angin, gelombang air laut dan lain-lain. Peningkatan pencemaran
pantai. Selain itu, terdapat dampak lain yang dapat imbasnya pada alam.
1. Erosi Pantai
Erosi
pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai. Selain
proses-proses alami, seperti angina, arus, hujan dan gelombang, aktivitas
manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai. Kebanyakan erosi pantai
akibat aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir untuk kepentingan
pemukiman, dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi
perlindungan pantai.
Gangguan
yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai, karena
perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah lenyap. Pantai
pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari pasir
atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman pantai
makin mudah diserang topan dan air pasang.
2. Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kearah daratan
sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi
payau atau asin. Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar
yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum
dan dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir
sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih
dari 1 km.
3. Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan
pembukaan lahan atas dan pesisir untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan
kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut.
Adanya penebangan hutan dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS) telah
menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir. Pembukaan
lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah
pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut
melalui aliran sungai. Selain limbah pertanian, sampah-sampah rumah tangga dan
kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir dan laut yang sulit dikontrol.
Kegiatan
pembuangan limbah pertanian, agro-industri dan limbah rumah tangga baik itu
yang langsung ke hutan mangrove maupun lewat sungai, juga akan menimbulkan
berbagai masalah terhadap eksistensi hutan mangrove. Berbagai limbah yang
dibuang ke areal hutan mangrove tersebut, akan menurunkan kualitas lingkungan
perairan, sehingga pada akhimya kehidupan biota akuatik akan terganggu. Limbah
dan industri yang menggunakan senyawa-senyawa organik dan anorganik yang
dibuang di sekitar perairan hutan mangrove, juga menyebabkan tumbuhan mangrove
akan menggugurkan daunnya dan kemudian mati.
E.
Dampak Kerusakan Hutan Mangrove bagi Kehidupan Sosial Masyarakat
Hutan mangrove menjadi habitat
yang menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuhan pada tanah galian. Kepunahan spesies yang disebabkan oleh perubahan bentuk (degradasi) hutan
mangrove telah menyebabkan berbagai perubahan juga pada ekosistem hutan
mangrove maupun masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Ekosistem mangrove merupakan
salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan
tingkat endemismenya. Saat ini,
ekosistem hutan mangrove mengalami ancaman berupa penebangan, fragmentasi dan
konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan atau penggundulan hutan mangrove ini dapat mengganggu sumberdaya
alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus,
maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan
masyarakat.
Umumnya kerusakan atau kepunahan
ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh
penyebab-penyebab berikut:
1.
Laju
peningkatan populasi manusia dan konsumsi SDA (Sumber Daya Alam) yang tidak
berkelanjutan;
2.
Penyempitan
spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan
perikanan;
3.
Sistem dan kebijaksanaan
ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada lingkungan dan sumberdayanya;
4.
Ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari penggunaan
dan pelestarian sumberdaya hayati;
5.
Kurangnya
pengetahuan dan penerapan;
6.
Sistem hukum
dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
Masyarakat yang
hidup di daerah pesisir dekat hutan mangrove secara langsung maupun tak
langsung telah melibatkan diri terhadap keadaan ekosistem mangrove. Keseharian
mereka tidak dapat dilepaskan dari ekoistem hutan mangrove.
Pengrusakan serta
pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya
penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah
tersebut.
Hutan
mangrove yang potensial
dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi, sosial dan kemasyarakatan. Namun, fungsi
tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, apabila bentuk pengelolaan dan
relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar
kawasan tidak mengalami perubahan. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat
berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke
tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus
meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan
antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko,
2002).
F.
Solusi
dan Penanggulangan Dari Kerusakan Hutan Mangrove
Peraturan tentang konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah
Republik Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai
adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove
adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang
berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan
pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah
daratan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan
hutan mangrove antara lain:
1.
Penanaman kembali mangrove, penanaman pohon mangrove
sebaiknya melibatkan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat terlibat dalam semua
kegiatan reboisasi mulai dari pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan
hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada
masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja sehingga terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat.
2.
Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir.
Pengaturan tata ruang wilayah pesisir yang dimaksud meliputi pemukiman,
vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat
dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk
lainnya.
3.
Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk
menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4.
Pemberian surat izin usaha dan surat izin mendirikan
bangunan harus memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove
5.
Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang
fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove
6.
Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, yang tidak
tergantung dari hutan mangrove
7.
Program komunikasi yang berkesinambungan antara
masyarakat sekitar dengan instansi terkait tentang fungsi ekologi dan konservasi
hutan mangrove
8.
Penegakan hukum yang tegas kepada siapa saja yang
memanfaatkan hutan mangrove tanpa
terkendali sehingga merusak hutan mangrove, yang mengakibatkan hilangnya
fungsi ekologi hutan mangrove.
9.
Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu
dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir
masyarakat sangat penting dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu juga mengandung pengertian
bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem dan
pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program
ini.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan mengenai hutan mangrove, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Hutan mangrove didefinisikan sebagai
suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis komunitas pantai
tropik dari suku yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan dalam hal adaptasi
morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang
surut. Sedangkan Komunitas mangrove bersifat unik, hal ini disebabkan oleh luas
vertikal pohon, dimana organisme daratan menempati bagian atas sedangkan hewan
lautan yang sebenarnya menempati bagian bawah.
2.
Fungsi dan manfaat hutan mangrove
meliputi fungsi fisik, biologis, ekologis dan fungsi sosial-ekonomi. Selain itu
hutan
mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran
ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah
dan bertelur berbagai biota laut; 4) menjadi habitat berbagai jenis margasatwa;
5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
3.
Faktor-faktor penyebab dari kerusakan
hutan mangrove disebabkan karena faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam
yang mungkin terjadi diakibatkan oleh angin topan, gelombang tsunami, dan
organisme isopoda kecil. Sedangkan faktor manusia yang dapat mengakibatkan
kerusakan ekosistem hutan bakau adalah konversi hutan bakau menjadi berbagai
fungsi, eksploitasi yang berlebihan, penegakkan hukum yang lemah dan pembuangan
limbah industri maupun limbah rumah tangga yang dibuang di aliran sungai lalu
bermuara pada perairan hutan bakau.
4.
Dampak kerusakan hutan mangrove di
beberapa daerah adalah menyebabkan erosi pantai atau abrasi yang parah
menyebabkan degradasi hutan bakau menuruh drastis. Intrusi air laut perairan di
Bengkulu menjadi tercemar, dan penebangan hutan serta penambangan di daerah aliran
sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan
perairan pesisir.
5.
Dampak kerusakan hutan mangrove bagi
kehidupan sosial masyarakat, menimbulkan
akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga
ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus
meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan
antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat.
6.
Cara penanggulangan kerusakan hutan
mangrove adalah dengan Penanaman kembali mangrove, Pengaturan kembali tata ruang
wilayah pesisir, Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga
dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab dan Penegakan hukum yang
tegas kepada siapa saja yang memanfaatkan hutan mangrove.
DAFTAR
PUSTAKA
Lala_syabilla.
2012. Akibat Kerusakan Hutan. http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/04/akibat-kerusakan-hutan.html.
Diakses tanggal 16 Oktober 2013. Pukul 23.45 WIB.
Muryani, Chatarina. 2010. Jurnal Analisis Perubahan Garis Pantai Menggunakan Sig Serta Dampaknya
Terhadap Kehidupan Masyarakat Di Sekitar Muara Sungai Rejoso Kabupaten Pasuruan.
http://mangrove.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2013. Pukul 20.00 wib.
Onrizal. 2002. Jurnal
Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove Dan Alternatif Rehabilitasinya Di Jawa
Barat Dan Banten. http:hutan_onrizal.pdf. Diakses tanggal 14 Oktober 2013.
Pukul 13.45 WIB.
Pramudji. 2000. Jurnal
Dampak Perilaku Manusia Pada Ekosistem Hutan Mangrove Di Indonesia. http://www.oseanografi.lipi.go.id.
Diakses tanggal 15 Oktober 2013. Pukul 16.00 wib.
Zainatun,
Anita. 2002. Jurnal Kajian Keberadaan Hutan Mangrove: Peran,
Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. http: hutan_anita.pdf. Diakses tanggal 14 Oktober 2013. Pukul 13.00
wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar